Dayak atau Daya (ejaan lama: Dajak atau Dyak adalah
nama yang oleh penduduk pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman
yang mendiami Pulau Kalimantan (Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah
dan Sarawak, serta Indonesia yang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan).
Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama
sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
"perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam
enam rumpun yakni rumpun Klemantan
alias Kalimantan, rumpun
Iban, rumpun
Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot Danum-Ngaju
dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para linguis
melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan masing-masing
memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
- "Barito Raya (33 bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa Madagaskar, dan Sama-Bajau),
- "Dayak Darat" (13 bahasa)
- "Borneo Utara" (99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
- "Sulawesi Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
- "Melayik" dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjar arkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei), Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Bulungan (keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
Daftar
isi
|
Etimologi
Masyarakat Dayak Barito beragama
Islam yang dikenali sebagai suku Bakumpai di sungai Barito tempo dulu.
Istilah "Dayak" paling
umum digunakan untuk menyebut orang-orang asli non-Muslim, non-Melayu yang
tinggal di pulau itu. Ini terutama berlaku di Malaysia, karena di Indonesia ada
suku-suku Dayak yang Muslim namun tetap termasuk kategori Dayak walaupun
beberapa diantaranya disebut dengan Suku Banjar dan Suku Kutai. Terdapat
beragam penjelasan tentang etimologi istilah ini. Menurut Lindblad, kata Dayak
berasal dari kata daya dari bahasa
Kenyah, yang berarti hulu sungai atau pedalaman. King, lebih jauh menduga-duga bahwa
Dayak mungkin juga berasal dari kata aja, sebuah kata dari bahasa Melayu
yang berarti asli atau pribumi. Dia juga yakin bahwa kata itu mungkin berasal
dari sebuah istilah dari bahasa Jawa Tengah yang berarti perilaku yang tak
sesuai atau yang tak pada tempatnya.
Istilah untuk suku penduduk asli
dekat Sambas dan Pontianak adalah Daya (Kanayatn: orang daya= orang darat),
sedangkan di Banjarmasin disebut Biaju (bi= dari; aju= hulu Jadi semula istilah
orang Daya (orang darat) ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan Barat yakni
rumpun Bidayuh yang selanjutnya dinamakan Dayak Darat yang dibedakan dengan
Dayak Laut (rumpun Iban). Di Banjarmasin, istilah Dayak mulai digunakan dalam
perjanjian Sultan Banjar dengan Hindia Belanda tahun 1826, untuk menggantikan
istilah Biaju Besar (daerah sungai Kahayan) dan Biaju Kecil (daerah sungai
Kapuas Murung) yang masing-masing diganti menjadi Dayak Besar dan Dayak Kecil. Sejak itu istilah Dayak juga
ditujukan untuk rumpun Ngaju-Ot Danum atau rumpun Barito. Selanjutnya istilah
“Dayak” dipakai meluas yang secara kolektif merujuk kepada suku-suku penduduk
asli setempat yang berbeda-beda bahasanya khususnya non-Muslim atau
non-Melayu. Pada akhir abad ke-19 (pasca Perdamaian Tumbang Anoi) istilah Dayak
dipakai dalam konteks kependudukan penguasa kolonial yang mengambil alih
kedaulatan suku-suku yang tinggal di daerah-daerah pedalaman Kalimantan.
Menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Pengkajian dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Kalimantan Timur, Dr. August Kaderland, seorang
ilmuwan Belanda, adalah orang yang pertama kali
mempergunakan istilah Dayak dalam pengertian di atas pada tahun 1895.
Arti dari kata ‘Dayak’ itu sendiri
masih bisa diperdebatkan. Commans (1987), misalnya, menulis bahwa menurut
sebagian pengarang, ‘Dayak’ berarti manusia, sementara pengarang lainnya
menyatakan bahwa kata itu berarti pedalaman. Commans mengatakan bahwa arti yang
paling tepat adalah orang yang tinggal di hulu sungai.Dengan nama serupa,
Lahajir et al. melaporkan bahwa orang-orang Iban menggunakan istilah Dayak dengan
arti manusia, sementara orang-orang Tunjung dan Benuaq mengartikannya sebagai hulu sungai. Mereka
juga menyatakan bahwa sebagian orang mengklaim bahwa istilah Dayak menunjuk
pada karakteristik personal tertentu yang diakui oleh orang-orang Kalimantan,
yaitu kuat, gagah, berani dan ulet.[24] Lahajir et al. mencatat bahwa
setidaknya ada empat istilah untuk penuduk asli Kalimantan dalam literatur,
yaitu Daya', Dyak, Daya, dan Dayak. Penduduk asli
itu sendiri pada umumnya tidak mengenal istilah-istilah ini, akan tetapi
orang-orang di luar lingkup merekalah yang menyebut mereka sebagai ‘Dayak’.
Asal
mula
Secara umum kebanyakan penduduk
kepulauan Nusantara adalah penutur bahasa Austronesia.
Saat ini teori dominan adalah yang dikemukakan linguis seperti Peter Bellwood dan Blust,
yaitu bahwa tempat asal bahasa Austronesia adalah Taiwan. Sekitar 4 000 tahun lalu, sekelompok orang Austronesia
mulai bermigrasi ke Filipina. Kira-kira 500
tahun kemudian, ada kelompok yang mulai bermigrasi ke selatan menuju kepulauan
Indonesia sekarang, dan ke timur menuju Pasifik.
Namun orang Austronesia ini bukan
penghuni pertama pulau Borneo. Antara 60 000 dan 70 000 tahun lalu, waktu
permukaan laut 120 atau 150 meter lebih rendah dari sekarang dan kepulauan
Indonesia berupa daratan (para geolog menyebut daratan ini
"Sunda"), manusia sempat bermigrasi dari benua Asia menuju ke selatan
dan sempat mencapai benua Australia yang saat itu tidak terlalu jauh dari
daratan Asia.
Dari pegunungan itulah berasal
sungai-sungai besar seluruh Kalimantan. Diperkirakan, dalam rentang waktu yang
lama, mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan
kemudian mendiami pesisir pulau Kalimantan,Tetek
Tahtum menceritakan perpindahan suku Dayak dari daerah hulu menuju daerah
hilir sungai.
Di daerah selatan Kalimantan Suku
Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam tradisi lisan Dayak di daerah itu
sering disebut Nansarunai Usak Jawa yakni kerajaan Nansarunai
dari Dayak Maanyan yang dihancurkan oleh Majapahit,
yang diperkirakan terjadi antara tahun 1309-1389.
Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak Maanyan terdesak dan terpencar,
sebagian masuk daerah pedalaman ke wilayah suku Dayak Lawangan. Arus besar
berikutnya terjadi pada saat pengaruh Islam yang berasal dari kerajaan Demak
bersama masuknya para pedagang Melayu (sekitar tahun 1520).
Sebagian besar suku Dayak di wilayah
selatan dan timur kalimantan yang memeluk Islam
tidak lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai
atau orang Banjar dan Suku Kutai. Sedangkan orang Dayak yang menolak
agama Islam kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman, bermukim di
daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Amas dan Watang Balangan. Sebagian lagi
terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk Islam kebanyakan berada di
Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah seorang pimpinan Banjar
Hindu yang terkenal adalah Lambung Mangkurat menurut orang Dayak adalah
seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum). Di Kalimantan Timur, orang Suku
Tonyoy-Benuaq yang memeluk Agama Islam menyebut dirinya sebagai Suku Kutai.[rujukan?]
Tidak hanya dari Nusantara, bangsa-bangsa lain juga berdatangan ke Kalimantan.
Bangsa Tionghoa tercatat mulai datang ke Kalimantan pada
masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf hanzi disebutkan
bahwa kota yang pertama dikunjungi adalah Banjarmasin. Kunjungan tersebut pada
masa Sultan Hidayatullah I
dan Sultan Mustain Billah.
Hikayat Banjar memberitakan kunjungan tetapi tidak menetap oleh pedagang jung
bangsa Tionghoa dan Eropa (disebut Walanda) di Kalimantan Selatan telah terjadi
pada masa Kerajaan Banjar Hindu (abad XIV). Pedagang Tionghoa mulai menetap di kota Banjarmasin pada
suatu tempat dekat pantai pada tahun 1736.
Kedatangan bangsa Tionghoa di
selatan Kalimantan tidak mengakibatkan perpindahan penduduk Dayak dan tidak
memiliki pengaruh langsung karena mereka hanya berdagang, terutama dengan
kerajaan Banjar di Banjarmasin. Mereka tidak langsung berniaga dengan orang
Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa masih disimpan oleh sebagian suku Dayak
seperti piring malawen, belanga (guci) dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa
telah sampai di Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan
perang besar ke selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Cheng Ho, dan kembali ke Tiongkok pada tahun 1407,
setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan, Malaka, Manila dan Solok.
Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah
seperti piring, cangkir, mangkok dan guci.
Pembagian
sub-sub etnis
Persebaran suku-suku Dayak di Pulau
Kalimantan.
Dikarenakan arus migrasi yang kuat
dari para pendatang, Suku Dayak yang masih mempertahankan adat budayanya
akhirnya memilih masuk ke pedalaman. Akibatnya, Suku Dayak menjadi
terpencar-pencar dan menjadi sub-sub etnis tersendiri.
Kelompok Suku Dayak, terbagi dalam
sub-sub suku yang kurang lebih jumlahnya 405 sub (menurut J. U. Lontaan, 1975).
Masing-masing sub suku Dayak di pulau Kalimantan mempunyai adat istiadat dan
budaya yang mirip, merujuk kepada sosiologi kemasyarakatannya dan perbedaan
adat istiadat, budaya, maupun bahasa yang khas. Masa lalu masyarakat yang kini
disebut suku Dayak, mendiami daerah pesisir pantai dan sungai-sungai di
tiap-tiap pemukiman mereka.
Etnis Dayak Kalimantan menurut
seorang antropologi J.U. Lontaan, 1975 dalam Bukunya Hukum Adat dan Adat
Istiadat Kalimantan Barat, terdiri dari 6 suku besar dan 405 sub suku kecil,
yang menyebar di seluruh Kalimantan.[33]
Dayak
pada masa kini
Tradisi suku Dayak Kanayatn.
Dewasa ini suku bangsa Dayak terbagi
dalam enam rumpun besar, yakni: Apokayan
(Kenyah-Kayan-Bahau),
Ot
Danum-Ngaju, Iban, Murut, Klemantan dan Punan.
Rumpun Dayak
Punan merupakan suku Dayak yang paling tua mendiami pulau
Kalimantan, sementara rumpun Dayak yang lain merupakan rumpun hasil asimilasi
antara Dayak punan dan kelompok Proto Melayu (moyang Dayak yang berasal dari
Yunnan). Keenam rumpun itu terbagi lagi dalam kurang lebih 405 sub-etnis.
Meskipun terbagi dalam ratusan sub-etnis, semua etnis Dayak memiliki kesamaan
ciri-ciri budaya yang khas. Ciri-ciri tersebut menjadi faktor penentu apakah
suatu subsuku di Kalimantan dapat dimasukkan ke dalam kelompok Dayak atau
tidak. Ciri-ciri tersebut adalah rumah panjang, hasil budaya material seperti
tembikar, mandau, sumpit, beliong (kampak Dayak), pandangan
terhadap alam, mata pencaharian (sistem perladangan), dan seni tari.
Perkampungan Dayak rumpun Ot
Danum-Ngaju biasanya disebut lewu/lebu
dan pada Dayak lain sering disebut banua/benua/binua/benuo.
Di kecamatan-kecamatan di Kalimantan yang merupakan wilayah adat Dayak dipimpin
seorang Kepala Adat yang memimpin satu atau dua suku Dayak yang berbeda.
Prof. Lambut dari Universitas
Lambung Mangkurat, (orang Dayak Ngaju) menolak anggapan Dayak
berasal dari satu suku asal, tetapi hanya sebutan kolektif dari berbagai unsur
etnik, menurutnya secara "rasial", manusia Dayak dapat dikelompokkan
menjadi :
Namun di dunia ilmiah internasional,
istilah seperti "ras Australoid",
"ras Mongoloid dan pada umumnya "ras"
tidak lagi dianggap berarti untuk membuat klasifikasi manusia karena kompleksnya faktor
yang membuat adanya kelompok manusia.
Tradisi
Penguburan
Peti kubur di Kutai. Foto tersebut
merupakan foto kuburan Dayak Benuaq di Kutai. Peti yang
dimaksud adalah Selokng
(ditempatkan di Garai). Ini merupakan penguburan primer - tempat mayat melalui
Upacara/Ritual Kenyauw.
Sementara di sebelahnya (terlihat sepotong) merupakan Tempelaq
yang merupakan tempat tulang si meninggal melalui Upacara/Ritual Kwangkay.
Tradisi penguburan dan upacara adat
kematian pada suku bangsa Dayak diatur tegas dalam hukum adat. Sistem
penguburan beragam sejalan dengan sejarah panjang kedatangan manusia di Kalimantan. Dalam sejarahnya terdapat tiga budaya
penguburan di Kalimantan :
- penguburan tanpa wadah dan tanpa bekal, dengan posisi kerangka dilipat.
- penguburan di dalam peti batu (dolmen)
- penguburan dengan wadah kayu, anyaman bambu, atau anyaman tikar. Ini merupakan sistem penguburan yang terakhir berkembang.
Menurut tradisi Dayak Benuaq baik tempat maupun bentuk penguburan dibedakan :
- wadah (peti) mayat--> bukan peti mati : lungun selokng dan kotak
- wadah tulang-beluang : tempelaaq (bertiang 2) dan kererekng (bertiang 1) serta guci.
- lubekng (tempat lungun)
- garai (tempat lungun, selokng)
- gur (lungun)
- tempelaaq dan kererekng
Pada umumnya terdapat dua tahapan
penguburan:
- penguburan tahap pertama (primer)
- penguburan tahap kedua (sekunder).
Penguburan
primer
- Parepm Api (Dayak Benuaq)
- Kenyauw (Dayak Benuaq)
Penguburan
sekunder
Penguburan sekunder tidak lagi
dilakukan di gua. Di hulu Sungai Bahau dan cabang-cabangnya di Kecamatan Pujungan, Malinau, Kalimantan Timur, banyak
dijumpai kuburan tempayan-dolmen yang merupakan peninggalan megalitik.
Perkembangan terakhir, penguburan dengan menggunakan peti mati (lungun) yang
ditempatkan di atas tiang atau dalam bangunan kecil dengan posisi ke arah
matahari terbit.
Masyarakat Dayak Ngaju mengenal tiga
cara penguburan, yakni :
- dikubur dalam tanah
- diletakkan di pohon besar
- dikremasi dalam upacara tiwah.
Prosesi
penguburan sekunder
- Tiwah adalah prosesi penguburan sekunder pada penganut Kaharingan, sebagai simbol pelepasan arwah menuju lewu tatau (alam kelanggengan) yang dilaksanakan setahun atau beberapa tahun setelah penguburan pertama di dalam tanah.
- Ijambe adalah prosesi penguburan sekunder pada Dayak Maanyan. Belulang dibakar menjadi abu dan ditempatkan dalam satu wadah.
- Marabia
- Mambatur (Dayak Maanyan)
- Kwangkai /Wara (Dayak Benuaq)
Agama
Bagian ini membutuhkan pengembangan dengan: sumber terpercaya
|
Masyarakat rumpun Dayak Ngaju dan rumpun
Dayak Ot Danum menganut agama leluhur yang diberi nama oleh Tjilik Riwut sebagai agama Kaharingan yang memiliki ciri khas adanya
pembakaran tulang dalam ritual penguburan. Sedangkan agama asli rumpun Dayak
Banuaka tidak mengenal adanya pembakaran tulang jenazah. Agama-agama asli
suku-suku Dayak sekarang ini kian lama kian ditinggalkan. Sejak abad pertama
Masehi, agama Hindu mulai memasuki Kalimantan dengan ditemukannya peninggalan
agama Hindu di Amuntai, Kalimantan Selatan, selanjutnya
berdirilah kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha. Semenjak abad ke-4 masyarakat
Kalimantan memasuki era sejarah yang ditandai dengan
ditemukannya prasasti peninggalan dari Kerajaan Kutai yang beragama Hindu di Kalimantan
Timur. Penemuan arca-arca Buddha yang merupakan peninggalan Kerajaan Brunei
kuno, Kerajaan Sribangun (di Kota Bangun,
Kutai Kartanegara) dan Kerajaan Wijayapura.
Hal ini menunjukkan munculnya pengaruh hukum agama Hindu-Buddha dan asimilasi
dengan budaya India yang menandai kemunculan masyarakat
multietnis yang pertama kali di Kalimantan. Dengan menyebarnya agama Islam
sejak abad ke-7 mencapai puncaknya di awal abad ke-16, masyarakat
kerajaan-kerajaan Hindu menjadi pemeluk-pemeluk Islam yang menandai kepunahan
agama Hindu dan Buddha di Kalimantan. Sejak itu mulai muncul hukum adat Melayu/Banjar yang dipengaruhi oleh
sebagian hukum agama Islam (seperti budaya makanan, budaya
berpakaian, budaya bersuci), namun umumnya masyarakat Dayak di pedalaman tetap
memegang teguh pada hukum adat/kepercayaan Kaharingan. Sebagian besar
masyarakat Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kini memilih Kekristenan, namun kurang dari 10% yang masih
mempertahankan agama Kaharingan. Agama Kaharingan sendiri telah digabungkan ke
dalam kelompok agama Hindu (baca: Hindu Bali) sehingga mendapat sebutan agama
Hindu Kaharingan. Namun ada pula sebagian kecil masyarakat Dayak kini
mengkonversi agamanya dari agama Kaharingan menjadi agama Buddha (Buddha versi
Tionghoa), yang pada mulanya muncul karena adanya perkawinan antarsuku dengan
etnis Tionghoa yang beragama Buddha, kemudian semakin meluas disebarkan oleh para Biksu
di kalangan masyarakat Dayak misalnya terdapat pada masyarakat Dayak yang
tinggal di kecamatan Halong di
Kalimantan Selatan. Di Kalimantan Barat, agama Kristen diklaim sebagai
agama orang Dayak (sehingga Dayak Muslim Kalbar terpaksa membentuk Dewan Adat
Dayak Muslim tersendiri), tetapi hal ini tidak berlaku di propinsi lainnya
sebab orang Dayak juga banyak yang memeluk agama-agama selain Kristen misalnya
ada orang Dayak yang sebelumnya beragama Kaharingan kemudian masuk Islam namun
tetap menyebut dirinya sebagai suku Dayak. Agama sejati orang Dayak adalah
Kaharingan. Di wilayah perkampungan-perkampungan Dayak yang masih beragama
Kaharingan berlaku hukum adat Dayak, namun tidak semua daerah di Kalimantan
tunduk kepada hukum adat Dayak, kebanyakan kota-kota di pesisir Kalimantan dan
pusat-pusat kerajaan Islam, masyarakatnya tunduk kepada hukum adat
Melayu/Banjar seperti suku-suku Melayu-Senganan, Kedayan, Banjar, Bakumpai,
Kutai, Paser, Berau, Tidung, dan Bulungan. Bahkan di wilayah
perkampungan-perkampungan Dayak yang telah sangat lama berada dalam pengaruh
agama Kristen yang kuat kemungkinan tidak berlaku hukum adat Dayak/Kaharingan.
Di masa kolonial, orang-orang bumiputera Kristen dan
orang Dayak Kristen di perkotaan disamakan kedudukannya dengan orang Eropa dan
tunduk kepada hukum golongan Eropa. Belakangan penyebaran agama Nasrani mampu
menjangkau daerah-daerah Dayak terletak sangat jauh di pedalaman sehingga agama
Nasrani dianut oleh hampir semua penduduk pedalaman dan diklaim sebagai agama
orang Dayak.
Jika kita melihat sejarah pulau
Borneo dari awal. Orang-orang dari Sriwijaya, orang Melayu yang
mula-mula migrasi ke Kalimantan. Etnis Tionghoa Hui
Muslim Hanafi menetap di
Sambas sejak tahun 1407, karena pada masa Dinasti Ming, bandar Sambas menjadi pelabuhan
transit pada jalur perjalanan dari Champa ke Maynila, Kiu kieng (Palembang) maupun ke Majapahit. Banyak penjabat Dinasti Ming adalah
orang Hui Muslim yang memiliki
pengetahuan bahasa-bahasa asing misalnya bahasa Arab. Laporan pedagang-pedagang Tionghoa
pada masa Dinasti Ming yang mengunjungi Banjarmasin pada awal abad ke-16 mereka
sangat khawatir mengenai aksi pemotongan kepala yang dilakukan orang-orang
Biaju di saat para pedagang sedang tertidur di atas kapal. Agamawan Nasrani dan
penjelajah Eropa yang tidak menetap telah datang di Kalimantan pada abad ke-14
dan semakin menonjol di awal abad ke-17 dengan kedatangan para pedagang Eropa.
Upaya-upaya penyebaran agama Nasrani selalu mengalami kegagalan, karena pada
dasarnya pada masa itu masyarakat Dayak memegang teguh kepercayaan leluhur
(Kaharingan) dan curiga kepada orang asing, seringkali orang-orang asing
terbunuh. Penduduk pesisir juga sangat sensitif terhadap orang asing karena
takut terhadap serangan bajak laut dan kerajaan asing dari luar pulau yang
hendak menjajah mereka. Penghancuran keraton Banjar di Kuin tahun 1612 oleh VOC
Belanda dan serangan Mataram atas Sukadana tahun 1622 dan potensi serangan
Makassar sangat mempengaruhi kerajaan-kerajaan di Kalimantan. Sekitar tahun
1787, Belanda memperoleh sebagian besar Kalimantan dari Kesultanan Banjar dan Banten.
Sekitar tahun 1835 barulah misionaris Kristen mulai beraktifitas secara leluasa
di wilayah-wilayah pemerintahan Hindia Belanda yang berdekatan dengan negara
Kesultanan Banjar. Pada tanggal 26 Juni 1835,
Barnstein, penginjil pertama Kalimantan tiba di Banjarmasin
dan mulai menyebarkan agama Kristen. Pemerintah lokal Hindia Belanda malahan
merintangi upaya-upaya misionaris.
Konflik
Keterlibatan
Dayak (istilah kolektif untuk masyarakat
asli Kalimantan) telah mengalami peningkatan dalam konflik antar etnis. Di awal
1997 dan kemudian pada tahun 1999, bentrokan-bentrokan brutal terjadi antara
orang-orang Dayak dan Madura di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Puncak
dari konflik ini terjadi di Sampit pada tahun 2001. Konflik-konflik ini pun
kemudian menjadi topik pembicaraan di koran-koran di Indonesia. Sepanjang
konflik tahun 1997, sejumlah besar penduduk (baik Dayak maupun Madura) tewas.
Muncul berbagai perkiraan resmi tentang jumlah korban tewas, mulai dari 300
hingga 4.000 orang menurut sumber-sumber independen. Pada tahun 1999,
orang-orang Dayak, bersama dengan kelompok-kelompok Melayu dan Cina memerangi
para pendatang Madura; 114 orang
tewas. Menurut seorang tokoh masyarakat Dayak, konflik yang terjadi belakangan
itu pada awalnya bukan antara orang-orang Dayak dan Madura, melainkan antara
orang-orang Melayu dan Madura. Kendati terdapat fakta bahwa hanya ada beberapa
orang Dayak saja yang terlibat, tetapi media massa membesar-besarkan
keterlibatan Dayak. Sebagian karena orang-orang Melayu yang terlibat
menggunakan simbol-simbol budaya Dayak saat kerusuhan terjadi.
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dayak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar